Sehari-hari kerja di dunia edutech, malamnya ngulik bisnis digital & kuliner. Disini kamu bisa kenal aku lebih dekat, karirku, karya-karyaku, dan hal-hal seru yang sedang aku jalani.
Orang yang doyan ngoprek teknologi, senang bangun sesuatu dari nol, dan percaya bahwa ide bagus itu harus diwujudkan.
Saat ini aku kerja di sebuah startup edutech di Jakarta Selatan (@orbitedutech), dan di saat yang sama, aku juga lagi merintis:
Reweb Indonesia
@reweb.id – bantuin UMKM & Profesional punya website dan aplikasi kece, biar makin siap bersaing digital.
Warung Rintisan ABA
@warisanaba.id – brand kuliner keluarga yang ngangkat cita rasa & cerita warisan.
Digital Creator & Lifelong Learner
Dari sekian banyak cerita kerja, Orbit itu beda. Semua terasa pas. Mulai dari bikin website, bangun tim tech, ngerjain proyek digital bareng, sampai pelatihan web & app, semua jalan kayak puzzle yang ketemu tempatnya. Di sini aku nggak cuma kerja, tapi berkarya. Aku belajar banyak hal, ketemu klien dari sekolah sampai perusahaan, ngobrol langsung, ngasah komunikasi, dan ngerasain langsung jadi bagian dari perubahan. Lingkungannya suportif, timnya solid, dan Leader-nya inspiratif. Rasanya, dari awal semesta kayak udah dorong aku ke sini. Di Orbit, aku diterima, dihargai, dipercaya dan aku nggak mau menyia-nyiakan itu. Terima kasih, Orbit. Tempat ini bukan cuma tempat kerja, tapi titik balik terbaik dalam hidup profesionalku.
Saat itu aku sedang menjalani dua peran di Orbit dan sebagai kontributor digital kampus. Tugasnya menantang, tapi menyenangkan: membangun website kampus dari nol, menjalankan SIAKAD 4.0, dan mendorong transformasi digital. Setelah 6 bulan, hasilnya mulai kelihatan, Aku senang. Tapi tubuhku kasih alarm. Epilepsiku kambuh setelah Subuh. Itu jadi panggilan untuk istirahat sejenak. Meski harus resign, aku tetap bangga. Bukan tentang berapa lama aku bertahan, tapi bagaimana aku memberi dampak. Setiap perjalanan ada waktunya yang ini selesai, tapi bekasnya baik.
Jadi guru bukan rencana awal, tapi ternyata itu adalah awal dari semua perubahan besar dalam hidupku. Arahan dokter bilang, "Coba deh ngajar. Bisa bantu pulihin mental & fisikmu." Dan bener aja, dari papan tulis, murid-murid, sampai cerita-cerita di kelas, semuanya pelan-pelan membentuk aku yang lebih sabar, kuat, dan tahan banting. Meski, jujur aja aku lebih cocok di Lab Komputer ketimbang di ruang guru. Kurang lebih 6 bulan bisa nyambung bareng temen-temen guru, tapi setelahnya lebih banyak me time di lab sambil ngoding, ngulik, dan ngopi. Bukan karena aku anti sosial, cuma kadang misi hidup kita memang beda frekuensi. Yang penting: aku tetap belajar, tetap ngajar, dan tetap tumbuh.
Kadang perjalanan profesional itu bukan cuma soal skill, tapi juga soal stabilitas fisik dan mental. Dan jujur, saat itu aku belum stabil dua-duanya. Aku belajar bahwa memulai ulang itu nggak selalu mulus, tapi tetap berharga. Maaf karena belum bisa kasih kontribusi terbaik waktu itu. Tapi yakinlah, aku terus bergerak ke arah yang lebih baik.
Jujur aja, di masa ini aku merasa nggak banyak berkontribusi. Bukan karena nggak mau, tapi karena tubuh bilang: "Istirahat dulu, ya." Suatu hari, saat lagi kerja seperti biasa, cling! Tiba-tiba semuanya gelap. Bangun-bangun, aku udah di rumah sakit. Terjadi bukan sekali. Dan ternyata aku didiagnosa epilepsi. Nggak gampang, rasanya seperti seluruh dunia berhenti. Fokus buyar, semangat hilang, mental pun ikut goyah. Tapi dari titik inilah aku mulai belajar satu hal penting: memahami dan menerima diri sendiri. Buat teman-teman yang sempat kecewa karena aku "nggak hadir sepenuhnya" saat itu, aku minta maaf. Sekarang aku sedang belajar bangkit lebih kuat, lebih bijak, lebih siap berbagi lagi.
Pertama kali nyemplung ke dunia IT profesional, aku dapet kesempatan emas. Posisi? Macem-macem! junior web developer, software tester, pokoknya cobain banyak hal. Tapi ya gitu anak muda, kadang ego suka ngalahin akal sehat. Akhirnya resign buru-buru. Salah satu keputusan yang yah, kalau bisa di-rewind, pasti aku tahan dulu minimal 3-5 tahun. Tapi dari situ aku belajar. Terima Kasih Bu Christina udah kasih kepercayaan di awal karir saya.
Lulus S1 langsung tancap gas ke S2 lewat program ikatan dinas di kampus yang sama. Semangat? Banget. Sudah sampai titik akhir, tinggal eksekusi. Tapi hidup nggak selalu lurus. Ada masa lalu yang akhirnya bikin aku harus pamit. Berat? Iya. Tapi bukan berarti selesai. Gelar magister memang belum tercapai, tapi mimpi jadi dosen masih terus menyala. Ini bukan titik akhir, cuma pit stop. Perjuangan selanjutnya akan segera dimulai.
Kuliah awal-awal sih ngikutin kata hati (yang hobinya main biliar, bukan masuk kelas). IPK? Jangan ditanya. Tapi hidup selalu punya fase "AHA!" dan buatku, itu terjadi di semester 5. Mulai serius, mulai mikir panjang, dan mulai sadar kalau perjuangan ini punya penonton utama: orang tua. Ending-nya? Bisa lulus dengan nilai yang bahkan dulu nggak berani aku bayangin. Kuncinya? Mulai sekarang.
Jujur aja, dulu sempat mikir: "Ini beneran sekolah yang cocok buatku?" Rasanya ada mimpi yang lebih besar dan tempat yang lebih sesuai dengan kapasitas yang aku punya. Tapi hidup selalu punya cara untuk kasih kejutan. Ternyata, di tempat yang nggak aku sangka ini, aku ketemu cinta pertama. Dari situ aku belajar: "kadang bukan soal tempatnya, tapi gimana kita menjalani dan memaknainya".
